Buku Favorit Sepanjang Masa: The Alchemist
Di akhir tahun 2008, saya membaca sebuah buku dari Paulo Coelho berjudul The Alchemist, dan sejak itu, baik buku maupun penulisnya ada di posisi teratas dari daftar buku/penulis favorit saya.
Mahakarya Paulo Coelho menceritakan kisah magis Santiago, seorang anak gembala Andalusia yang rindu bepergian untuk mencari harta karun termewah yang pernah ditemukan. Kisah berharga yang ditemukan Santiago di sepanjang jalan mengajarkan kita tentang kebijaksanaan esensial mendengarkan hati kita, belajar membaca pertanda yang tersebar di sepanjang jalan kehidupan, dan, yang terpenting, mengikuti impian kita.
Bagi saya, buku ini adalah pembuka mata, hati, dan pikiran, yang mengarahkan saya pada hidup yang bermakna. Buku ini mengajarkan saya tentang pentingnya menghidupkan ‘mimpi’ atau cita-cita dalam relung hati terdalam, dengan kemurnian seorang balita yang melihat dunia dengan mata binar penuh harapan. Seorang anak yang ditanya tentang cita-citanya akan dengan mudah menjawab tanpa pretensi. Jawaban ‘astronot’, ‘polisi’, ‘balerina’, ‘tukang jamu’ (*yes, teman saya ada yang menjawab seperti ini :p ), dikeluarkan tanpa rasa khawatir akan persepsi orang lain, kesulitan dan tantangan yang dihadapi saat mencoba melakoninya, ketakutan dari sisi finansial, atau dari pertimbangan baik-buruk dari sisi akal semata. Perhatikan binar seorang anak kecil saat mengatakannya — yang ada hanya harapan dan kebahagiaan.
Di masa remaja, jawaban itu sudah mulai terdistorsi oleh lingkungan. Harapan orang tua, persepsi lingkungan, tekanan sosial, dan keuntungan/kerugian finansial (yang biasanya juga hasil pemikiran dan pertimbangan orang yang lebih tua), biasanya menjadi faktor dalam mempertimbangkan pilihan masa depan. Bila pertimbangan itu tidak berseberangan dengan keinginan hati, tentu tidak masalah. Tapi seringkali, pertimbangan-pertimbangan itu tidak mengikutsertakan yang bersangkutan — jadilah kita, yang harusnya menjadi subyek aktif, dalam hal ini menjadi obyek penderita.
Bila obyek (baca: kita) sudah menyadari dari dini apa yang diinginkan, kemungkinan pada masa-masa ini akan mengalami konflik klise: “I want A, but my parents prefer I choose B.” Bila obyek (baca: kita) tidak punya kesadaran dini apa yang kita inginkan dalam hidup, kemungkinan hanya akan ada anggukan pasrah: “Oke lah… pilihan itu juga nggak jelek kaaan….” Apapun kondisinya, pada akhirnya bila jalur yang dipilih (atau dipilihkan) memang ‘sesuai’ dengan jiwa kita, pekerjaan rumah kita sebagai manusia sudah selesai satu
Masalah akan timbul bila jalur yang dipilih (atau dipilihkan) ternyata diketahui belakangan tidak ‘sesuai’ dengan jiwa kita, dan jiwa kita pun dengan nekad dan nggak tau diri berontak pula. Dan ini yang diyakini oleh seorang Paulo Coelho, yang dinyatakan baik secara eksplisit atau implisit dalam buku-bukunya (The Alchemist, Veronica Decides to Die, The Pilgrimage, dsb): jiwa kita cepat atau lambat akan memberontak terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan panggilannya, karena panggilan itu sesungguhnya ditorehkan oleh Sang Maha Kuasa di jiwa kita. Ho..ho..ho…. this stuff is getting serious.
Pemberontakan yang diredam oleh diri sendiri dengan alasan ‘terlanjur’, tapi tidak bisa diikhlaskan dengan sungguh-sungguh (yang dimaksud di sini bukan lip service seperti “ya udah deh, gue ikhlas kok…”, tapi lebih kepada keikhlasan hati untuk menerima apa sedang dijalani), akan menghasilkan manusia-manusia yang dipenuhi kepahitan saat menghadapi hidup (yang digambarkan dengan sempurna, menurut saya, dalam buku Veronica Decides to Die).
Untuk itu, seseorang perlu melihat kembali ke dalam dirinya untuk menemukan jati dirinya sendiri dalam hati yang terdalam, yang selama ini sudah tertutup, dan menanyakan pertanyaan mendasar, “What is my passion? How can I serve my purpose in this life?” Bidang atau pekerjaan apakah yang bisa dilakoni dengan gairah dan cinta, sehingga hidup setiap harinya menjadi bermakna dengan berkarya di jalanNya?
Pertanyaan ini mungkin tidak mengusik semua orang, tapi bertahun-tahun lalu ini mengusik saya BANGEEEEET. Secara singkat, pertanyaan berikut mungkin bisa memberi gambaran seperti apa perjalanan hidup saya hingga sampai harus terusik oleh pertanyaan ‘standar’ seperti itu:
– SD: “Ngapain ya harus belajar susah-susah?”
– SMP: “Habis SD ke SMP, trus abis dari sini masih ada SMA, abis itu masih kuliah pula…. Kok sekolah melulu ya…. kapan selesainya?”
– SMA: “Emang apa pentingnya ya tau apa yg dipelajari sekarang sampai sesak nafas begini?”
– Kuliah: “What the hell am I learning??”
– Kerja: “What the hell am I doing? So, I should be doing this for the next 35 years, then get a pension, then die?? What’s the point of having a life—-can I even call it a life?? What does God want from me?!”
Saya (bersama seorang sahabat perjalanan) sampai menulis email langsung ke Paulo Coelho, menanyakan tentang hal ini. Dan percaya nggak percaya, surat saya dimuat di blog beliau keesokan harinya, dan dijawab langsung. OMG, I was speechless for days!
Jadi, sejak saat itu saya mencari. Saya ingin tahu untuk apa saya ada di dunia. Saya ingin membuktikan ‘tagline’ terkenal di The Alchemist: “When you want something, the universe will conspire to make it happen.” Atau, terjemahan bebasnya: “Bila kamu menginginkan sesuatu, maka alam semesta akan berkonspirasi untuk membuatnya terjadi.”
Tentu saja jalan pencarian itu tidak mudah. Dan akhirnya setelah tersandung kiri-kanan-depan-belakang-atas-bawah (*sampai jungkir balik), saya percaya Tuhan Maha Pemurah. Seperti yang disebut dalam Al-Quran, Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan; jadi apapun yang Dia minta kita lakukan, pasti sudah Dia berikan kemampuan itu kepada kita sebagai bekal.
Hmm…. sebenarnya saya cuma mau bilang kalau buku ini adalah favorit saya, mungkin sepanjang masa. Tapi kok jadi panjang begini ya… ? He..he..
Anyway, mudah-mudahan berguna.
Comments