CVD-19: Sang Pembawa Pesan
Tidak perlu dibahas lagi bagaimana Covid-19 sudah menjadi momok bagi dunia. Dan tentunya bagi mereka yang tersentuh olehnya, baik secara langsung ataupun tak langsung. Tak nyaman. Cemas. Takut. Sakit. Kehilangan. Duka. Tangis. Mencoba menerima walau tak rela. Mencoba ikhlas walau tak mengerti.
Apapun ceritanya, sebuah episode bersama virus ini kerap menyisakan pertanyaan dan perasaan-perasaan yang tak tuntas. Life will surely move on after an encounter with the virus, tapi dengan pertanyaan dan ketidakmengertian yang tak bisa terucap.
Di tulisan ini, saya tidak akan berbagi tentang gejala fisik, pengobatan, juga aspek sosial seperti prokes, konflik seputar vaksin, dan sebagainya. Yang akan saya tulis adalah satu hal sederhana yang kerap terlupakan:
‘ketika sebuah kejadian datang dalam hidup dan mengobrak-abrik kenyamanan dan kestabilan, apa pesan yang coba disampaikan oleh semesta kepada kita?’
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_7664646363547177616c38~mv2_d_3872_2592_s_4_2.jpg/v1/fill/w_980,h_656,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/nsplsh_7664646363547177616c38~mv2_d_3872_2592_s_4_2.jpg)
Saya sendiri bersinggungan dengan covid-19 di pertengahan juni 2021, ketika putri semata wayang tertular dari kenalannya, yang rupanya sudah bergejala, tapi menganggapnya hanya flu biasa sehingga tetap beraktivitas seperti biasa dan menulari orang-orang yang berinteraksi dengannya. Karena kami tinggal serumah di apartemen standar 2 kamar 40 m2, bisa diprediksi dengan mudah bahwa cepat atau lambat saya akan tertular. Dan dalam kasus saya, terjadinya cukup cepat; saya mereplikasi demam dan gejala lainnya dua hari setelah putri saya.
Di minggu pertama isoman, ketika gejala sedang top-topnya, saya merasakan bagaimana virus ini membongkar dan mengobrak-abrik jiwa. Ia mengorek banyak kecamuk emosi yang selama ini tak saya sadari ada. Kemarahan yang hanya menunggu kanal yang tepat untuk keluar, yang awalnya saya lampiaskan pada orang yang menulari putri saya, hingga di satu titik saya tersadar bahwa kemarahan itu punya akar yang lebih dalam. Rasa khawatir bahwa penyakit ini akan semakin parah sehingga saya sesak dan perlu ke rumah sakit, dan mungkin tak bisa tertangani karena rumah sakit penuh. Ketakutan bahwa jangan-jangan sebuah akhir sudah sedemikian dekat. Kecemasan bahwa saya harus meninggalkan kehidupan, tanpa tahu apa yang harus saya hadapi selanjutnya, pun putri saya.
Entah bagaimana, Tuhan mendadak tidak ada dalam skenario. Walaupun mulut ini tetap melantunkan doa, di sisi lain saya merasakan bagaimana doa itu tak lebih dari sebentuk kalimat yang terombang-ambing. Saya merasa ditinggalkan.
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_50763557654579784d5755~mv2_d_2865_1910_s_2.jpg/v1/fill/w_980,h_653,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/nsplsh_50763557654579784d5755~mv2_d_2865_1910_s_2.jpg)
- Nama Tuhan? -
Sebelum masuk lebih jauh, saya ingin membahas sedikit tentang sebuah 'kebetulan' aneh yang menarik, kalaupun memang bisa disebut sebagai kebetulan.
Saya tidak tahu siapa yang pertama memberi nama virus ini sebagai Covid, tapi entah bagaimana nama ini sangat mirip dengan salah salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna di tradisi Islam: al-Khofid. Saya tidak tahu bagaimana nama ini biasa diartikan dalam edisi resmi bahasa Indonesia, karena kebetulan referensi yang saya pakai dalam bahasa Inggris (Physician of the Heart, Sufi View of the Ninety-Nine Names of Allah). Dalam bahasa Inggris, artinya adalah The Diminisher. Di sederet.com, terjemahannya adalah: mengurangi, menipis, mengikis, menghilangkan.
![](https://static.wixstatic.com/media/1e9a29_af66e8baa580410e86184eb87e7739be~mv2.jpg/v1/fill/w_354,h_196,al_c,q_80,enc_auto/1e9a29_af66e8baa580410e86184eb87e7739be~mv2.jpg)
Jadi, apa yang dikurangi/ditipiskan/dikikis/dihilangkan?
Secara sederhana, statistik bisa menjawab bahwa di tingkatan fisik personal, virus ini mengurangi dan mengikis fungsi organ, juga menghilangkan nyawa. Di tingkatan fisik global, ia mengurangi, menipiskan, mengikis, dan menghilangkan penduduk bumi.
Di tingkatan jiwa, lebih rumit sedikit (atau banyak), karena sebuah pengalaman transformasi tak bisa dipisahkan dari pengenalan diri. Saya mengalami sendiri bagaimana emosi dan pikiran terobrak-abrik, dan perlu waktu bagi saya untuk akhirnya tersadar bahwa ternyata saya sedang bermain-main sebagai ‘korban’. Sisi insecure, inferior, dan sisi yang merasa diri ini sangat kecil, mencoba muncul ke permukaan dengan berpijak pada teori keterpisahan antara saya dan Tuhan. Ia mengarang cerita seolah-olah Tuhan tidak peduli atau begitu jauh, bahwa saya sedemikian tak berharga, bahwa virus ini membawa kematian yang begitu mengerikan, bahwa saya akan terpisah dari dunia dan orang-orang yang saya cintai, dan berjuta karangan lainnya, yang memang disengaja untuk membuat saya tetap merasa kecil, bahwa saya adalah ‘korban’ yang digilas oleh virus ini dan oleh keadaan.***
Lucu, karena semua drama yang dibuat pikiran kalut ini adalah hal-hal yang saya ketahui tidak benar, karena sudah pernah saya buktikan dan alami sebelumnya. Bahwa saya adalah spirit yang sedang menjalani pengalaman sebagai seorang manusia. Bahwa kematian tak pernah menjadi akhir. Bahwa semesta terkandung dalam setiap sel di tubuh saya. Bahwa Tuhan lebih dekat dari urat nadi adalah hal yang nyata, bukan jargon belaka. Namun, tetap saja, si ‘korban’, yang merupakan sisa-sisa pengalaman masa lalu yang ternyata masih membekas, beraksi dengan berbagai cara.
Di tingkatan spirit, lain lagi. Menarik bahwa di referensi tersebut ditulis bahwa al-Khofid adalah ‘the only one who lowers beings down the spiritual stations.’ Atau terjemahan bebas saya: DIA, satu-satunya yang punya kuasa menurunkan tingkat spiritual seseorang. Saya jadi saksi bagaimana barang yang disebut ‘iman’ atau keteguhan itu raib begitu saja, tanpa memandang ibadah yang dilakukan pun pengetahuan yang nyata.
Pertanyaannya, kenapa?
Buku itu menyebutkan arti akar kata al-Khofid sebagai ‘menurunkan sayap’, sebagaimana seekor induk ayam yang menurunkan sayapnya di atas anaknya, untuk melindungi mereka. Saya pribadi melihat ‘turunnya iman’ ini adalah sebuah proteksi, supaya saya bisa melihat sisi-sisi yang belum pulih di dalam diri, sehingga nanti bisa melangkah secara lebih utuh. Dengan kata lain, saya yang merasa kesehatan batin saya baik-baik saja, diperlihatkan bahwa, ‘Tunggu dulu. Coba dilihat lagi. Nggak sebaik-baik itu juga sih ya …. ’ 😂🤪
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_4256664d474b564937636b~mv2_d_3872_2592_s_4_2.jpg/v1/fill/w_980,h_656,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/nsplsh_4256664d474b564937636b~mv2_d_3872_2592_s_4_2.jpg)
Kesadaran itu membuat saya jeda sejenak dari memikirkan sang virus dan semua implikasi kesehatannya, dan mencoba kembali berpijak pada sebuah kebenaran hakiki yang sebenarnya selalu diketahui setiap hati: saya tak pernah terpisah dariNya. Sebuah rasa keterpisahan, kegalauan, dan suara-suara berisik lain tak lain adalah ilusi yang dibangun pikiran, sebuah usaha sabotase-diri dari si ‘korban’. God loves us first, then we love Him, karena kita tak mungkin mencintai Dia tanpa Dia mencintai kita terlebih dahulu — sebuah realita sederhana yang juga kerap terlupakan.
Jadi, saya mulai duduk dalam hening, mencoba mendengar pesan yang dibawa virus ini untuk saya. Dan rasanya luar biasa ketika akhirnya saya tersadar bahwa lewat virus ini, semesta sedang mengingatkan saya atas banyak hal: prioritas dalam hidup, jalan yang harus ditempuh, keputusan yang harus buat, risiko yang harus diambil, konsekuensi yang harus diterima, tindakan yang harus dilakukan, tempat yang harus dituju, dan hal-hal yang harus dituntaskan.
Sebuah referensi lain (The Sufi Book of Life, 99 Pathways of the Heart for the Modern Dervish) tentang al-Khofid berkata, ’Ketika kita dibimbing lewat nama ini, ambil kesempatan ini untuk menghargai bagian-bagian diri yang terasa kecil, tak matang, depresi, atau terkikis.’ Juga, sadari bahwa tempat-tempat di relung diri yang terasa paling gelap dan tak dicintai, bisa jadi merupakan kunci dari kekuatan dan kebahagiaan sejati.
Semua saya catat. Semoga Tuhan masih memberikan waktu.
- Alat Pamungkas -
Paulo Coelho, penulis favorit saya, berkata bahwa
ada tiga jenis kejadian yang menjadi alat pamungkas Tuhan lewat semesta untuk mentransformasi seorang manusia: cinta (love), kematian (death), dan kesengsaraan (suffering).
Dari apa yang teramati selama ini, covid-19 setidaknya memenuhi dua dari tiga jalur yang disebutkan oleh Paulo tersebut, yaitu kematian dan kesengsaraan, jadi dia pastinya sebuah alat yang digdaya.
Dan akhirnya, ketika semua telah berakhir dan saya duduk berhadapan dengan sang virus yang sudah jinak, saya melihat satu kualitas yang dibawa oleh Covid-19, yang selama ini tak terlihat karena hilang di antara hiruk-pikuk keganasan dan penularan yang tampil di permukaan: sebentuk rasa cinta dari Sang Pencipta bagi para ciptaanNya.
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_32504f44686d72764c696b~mv2_d_2074_1383_s_2.jpg/v1/fill/w_980,h_653,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/nsplsh_32504f44686d72764c696b~mv2_d_2074_1383_s_2.jpg)
Mungkin terdengar aneh, tapi DIA terus-menerus memastikan bahwa setiap makhluk mendengar tuntunan yang diberikan dan mengambil langkah yang tepat. Untuk masuk lebih dalam dan mengenal diri, sehingga bisa mengalami koneksi yang lebih intens lagi, demi kehidupan yang terasa lebih penuh dan bermakna.
Jadi, bagi saya pribadi, kelihatannya cukup tepat bila covid-19 disebut senjata pamungkas Tuhan untuk mengguncang seorang anak (dan umat) manusia. Walaupun di permukaan ia mengusung banyak kematian dan menjanjikan kesengsaraan, tapi di baliknya ternyata tersembunyi pesan Cinta Sang Ilahi. Bahwa Dia ingin kita semua memenuhi takdir yang memang telah digariskan, jauh melampaui sekadar ‘pencapaian’ surga-neraka. Untuk memenuhi panggilanNya untuk berkarya dan melayani di muka bumi, sehingga seorang anak manusia mencapai kebahagiaan hakiki. Tak hanya ‘di sana’, tapi juga di sini. Tak hanya ‘nanti’, tapi juga sekarang.
Semoga setiap insan bisa mendengar dan bersedia memulai perjalanan bersama Dia, untuk kembali padaNya sekarang dan di sini. Semuanya dalam rangkulan cinta dan kasih sayangNya.
***Catatan: untuk melihat pengaruh emosi pada kehidupan, ada video TED Talk yang sangat menarik tentang Emotional First Aid: https://www.ted.com/talks/guy_winch_the_case_for_emotional_hygiene
Inspiring...