top of page
  • Facebook
  • Instagram
  • YouTube

Berserah vs Menyerah

Writer's picture: EvieEvie

Seorang teman bertanya, apa yang dimaksud dengan berserah dan bukankah bedanya tipis saja dengan menyerah?


Pertanyaan yang sangat menarik, karena saya pun pernah mempertanyakan hal yang sama. Bagi saya, menyerah mengindikasikan aksi berhenti dari sebuah perjuangan; jadi, awalnya ada sebuah sikap aktif, seperti berjuang, dan pada satu titik, kita berhenti karena kehilangan harapan atas apa yang diperjuangkan. Contohnya adalah memperjuangkan kemerdekaan, memperjuangkan kebenaran, atau memperjuangkan kesembuhan ketika sakit.


Bagaimana dengan berserah?


Bagi saya kala itu, kata berserah identik dengan sikap pasrah, ‘nrimo’ dengan kejadian atau keadaan apapun tanpa berusaha melakukan atau mempertanyakan apapun. Jadi, bisa dibilang bagi saya sami mawon — berserah sama saja dengan menyerah, dan itu artinya saya ‘kalah’.

Pengertian itu tidak beranjak, hingga saya mulai mengenal ajaran dan kebijaksanaan dalam berbagai tradisi.


Jadi, apa sebenarnya yang di‘serahkan’ ketika kita berserah atau menyerah? Jawabannya adalah ‘human will’.


Seorang filsuf dan cendekiawan Islam abad ini, Seyyed Hossein Nasr, menyebutkan bahwa

Tuhan memberikan kehendak-bebas kepada manusia, sehingga mereka bisa menggunakan kehendak-bebasnya itu untuk mempersembahkan kembali kehendak-bebas tersebut kepadaNya.

Dengan kata lain, kehendak-bebas adalah pemberian Tuhan pada manusia, yang seyogyanya dihadiahkan kembali oleh manusia untuk Tuhan ketika dia punya aspirasi untuk lebih dekat denganNya dan mengenalNya — sebuah sikap rendah hati dengan mempercayakan penuh diri ini, mengembalikan jiwa dan raga ini, ke tanganNya.


Lantas, apa bedanya berserah dan menyerah?


Berdasarkan pengertian saya selanjutnya, berserah adalah sebuah aksi yang dilakukan secara sukarela dan bersifat aktif, karena menginginkan kedekatan denganNya, sementara menyerah merupakan sebuah reaksi yang dilakukan secara terpaksa dan bersifat pasif. Bahkan, kedua kata itu tidak berada di level yang sama — berserah dilakukan di tingkatan tertinggi yang menyentuh tak hanya raga dan jiwa tapi juga spirit, kepada Sang Maha, sedangkan menyerah dilakukan di tingkatan raga dan jiwa, kepada sesuatu, kejadian/kondisi, atau makhluk hidup lainnya.


Bukankah itu masih berarti, berserah ke Tuhan sama dengan bersikap pasif? Sama sekali tidak. Berserah padaNya berarti bersedia mendengarNya — hasilnya, baik sebuah kepasifan maupun tindakan aktif, tak lain dari aksi, sesuai dengan petunjukNya.


Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, tentunya, karena ‘mendengar’ adalah hal yang tak mudah. Tentunya, tersandung karena ‘salah mendengar’ atau punya persepsi keliru atas apa yang didengar, atau tebak-tebak manggis tanpa tahu apakah itu pada akhirnya tepat atau tidak, adalah hal lumrah sebagai seorang manusia yang masih terus belajar mendengar. Ketidaktahuan kadang diperlukan untuk membuat manusia dalam kerendahan hati. Ketika melakukan kesalahan, manusia pun belajar untuk meminta pengampunan dan saat itu manusia bisa menyaksikan Tuhan bekerja lewat kasih sayang.


Singkat cerita, saat ini definisi berserah bagi saya meluas dan mencakup banyak hal:


Berserah adalah percaya, bahwa everything happens for a reason. Tuhan punya alasan. Dan alasan itu ada untuk yang terbaik. Versi-Nya, bukan versi pikiran manusia yang terbatas. Sakit dimunculkan supaya manusia bisa menyembuhkan dirinya — bukan yang terlihat sebagai penyakitnya, tapi apa yang terpendam jauh di dalam, akar penyebab yang membuat si sakit termanifestasi. Si akar penyebab yang pastinya menjadi pengganjal hubungan dengan Sang Maha — bisa berupa persepsi, bisa berupa keputusan yang harus disadari, bisa berupa emosi yang belum diakui, bisa jalan yang harus ditempuh, bisa apapun.


Berserah adalah percaya, bahwa memberikan hati 100% pada setiap aksi dan hidup secara penuh, walaupun pikiran berteriak-teriak tentang risiko tersakiti, adalah menghargai Sang Kehidupan itu sendiri, dan adalah sebuah pelayanan sebagai seorang hamba.


Berserah adalah berjalan ke dalam diri dan berusaha mendengar pesanNya di lubuk hati terdalam dan percaya pada bimbinganNya. Bahwa betapapun sulit dan tak masuk akal bimbingan itu, jalan itu adalah pilihanNya untuk kebaikan diri kita sendiri, dan orang lain, walaupun di permukaan mungkin terlihat melukai.


Berserah adalah percaya, bahwa kita bukanlah korban kehidupan, kita bukan korban dari tindakan orang lain, melainkan bertanggung jawab penuh atas jalan yang ditempuh oleh diri sendiri, atas semua kejadian di hidup kita, ‘baik’ atau ‘buruk’.


Berserah adalah percaya, bahwa ‘baik’ atau ‘buruk’ hanya tampilan semata, label yang kita berikan karena kita belum mengerti. Karena pada intinya, semua adalah bisikan semesta yang menyampaikan pesan Sang Maha khusus untuk kita.


Berserah adalah membiarkanNya membentuk diri kita, membiarkanNya menentukan cara yang terbaik bagi kita dalam melayaniNya, untuk kepentinganNya sesuai versiNya, bukan kepentinganNya sesuai versi kita.


Berserah adalah menyadari bahwa tak ada ‘kalah-menang’ ketika mengarungi kehidupan, karena kita berjalan sesuai fungsi di jalanNya. Ketika berobat namun penyakit tak kunjung habis, itu bukan karena kita ‘kalah’ melawan penyakit. Juga ketika kita sembuh, itu bukan karena kita ‘menang’ melawan penyakit. Kita tidak melawan penyakit, karena penyakit bukan lawan, hanya pembawa pesan — dia ada selama ladangnya tersemai subur. Kita mendengar bimbingan bagaimana cara berjuang menuju kesembuhan, cara mengubah ladang sehingga menjadi subur bagi kesembuhan. Alam berbicara, menyampaikan pesanNya setiap saat, yang perlu kita lakukan hanyalah mendengar, dan melakukan usaha-usaha yang diperlukan untuk terus berusaha mendengar.


Berserah adalah menyadari, bahwa yang disebut ‘diri’ ini bukanlah siapa-siapa dan tak akan pernah menjadi apa-apa. Tanpa kekuatan yang mengalir dari Sang Maha di dalam tubuh, mengangkat jaripun diri ini tak akan sanggup. Tanpa kehidupan yang mengalir dari Sang Maha ke dan melalui tubuh, udara tak bisa ditarik. Tanpa percikan pengetahuan dari Sang Maha, diri ini tak bisa mengetahui apapun juga dan tak akan mengingat apa-apa. Kita ada karena ruhNya mengalir dalam setiap jengkal napas dan sel tubuh ini.


Saya percaya daftar itu masih akan terus bertambah seiring dengan waktu, dan seperti biasa, lebih mudah menuliskannya daripada menjalaninya. Pada akhirnya, saya percaya pada satu hal yang dikatakan oleh penulis favorit saya, Paulo Coelho:

‘Tak ada yang bilang bahwa hidup itu mudah. Mereka hanya berjanji bahwa besar kemungkinan ini semua akan sepadan pada akhirnya.’



Related Posts

See All

Comments


A Blog by Dina & Evie

Heal & Grow Facilitators RELUNGMAKNA.ID

Owls.png

Subscribe here and get the latest updates!

THANK YOU FOR SUBMITTING!

© 2021 by Awake in A Dream. All rights reserved.

bottom of page